February 23, 2010

Pintar atau Penurut, untuk yang Mana Anjing Dilatih?

Sekadar ingin expressive saja bgt. No more. Setidaknya kebutuhan didengar ada harapan terpenuhi, hehehee... (pembukaan buat jaga-jaga, kalo-kalo bosku kantor ikutan baca, wkkk...). Posting ini mengharapkan untuk tidak menjadikan "sebuah keinginan" tertahan menjadi beban. Dan tidak menahan orang lain mengekspresikan keinginannya. Karena keinginan adalah kebutuhan, panjatlah, jangan memanggulnya!
Tulisan ini bermula dari kesimpulan bahwa para pemilik kursi sakti mampu membuat setiap kata dan desah yang terucap olehnya adalah 'harga mati'. Harga mati tidak bisa ditawar. Tahu demikian, maka banyak orang jadi enggan untuk melakukan penawaran, toh sudah 'harga mati', daripada buang-buang energi. Orang-orang ini ujungnya melakukan kasak-kusuk di kamar kecil, facebook, komen, chatting untuk melepaskan dongkol. Ngomelin atasan, atasannya atasan, pak lurah dan kelurahan, pemerintah dan pemerintahan, serta tim yang khusus-khusus itu.

Sialnya, 'beberapa baris kalimat sederhana' yang dulunya merupakan sebuah keluhan, kini kalimat itu bisa menjadikannya berurusan dengan hukum. Jika hukum yang mengurusnya juga berharga mati, mampuslah dia. Meskipun sejuta hati membelanya, pembelaan oleh hati lebih merupakan sebuah ratapan. Rentetan peristiwa ini membuat yang lain memilih untuk diam. Meskipun jelas-jelas di depan mata sebuah kereta api melaju di luar rel dan melindas teman sendiri yang sekampung-halaman.

Harga mati tidak goyah oleh sain. Bukti emphiris boleh diperagakan, tetapi 'harga mati' tetap berlaku. Bersyukur ada Blackinnovationawards, sehingga sain mendapatkan harga sepatutnya.

Hari minggu kemarin aku habiskan separoh hari untuk kongkow di bengkel. Bukan bengkelnya ABT (Autoblackthrough), hanya bengkel di kampung yang melayani segala jenis kendaraan termasuk becak. Ada bocah lelaki dengan sepeda mini yang baru ganti ban mengambil posisi serupa dengan lagak pembalap di belakang garis start menunggu letusan keberangkatan. Kurang dari jarak 3 meter arah ke depan ada sebuah tanjakan. Anak ini jelas sekali akan mencoba untuk menaklukkan tanjakan itu. Kayuhan awal belum dilakukan, keburu seorang ibu berok-berok kepadanya, "Gak boleh! Gak boleh! Gak bisa kamu! ntar jatuh!"
"Bisa, bisa, ma.."
"Gak Bisa, nak!"
"....", sanggah anak dengan diam.

Kayuhan dimulai... seluruh konsentrasi untuk think power..., "Gedubrak..!!!" dia terjatuh dan terguling-guling. Menyusul dari belakang si ibu yang sudah geram menghampiri. "Plak.. plek.. plak.." tamparan ibu bertubi menyakiti bokong anak. Sudah terjatuh tertimpa tangga, lahir dan batin. Sedangkan aku dari kejauhan menghembuskan nafas gede tanda tak kuasa. Satu bukti bahwa "Aku tidak bisa!" sudah dibuahi dalam sejarah kehidupan seorang bocah. Demikiankah yang juga terjadi kepada jutaan bocah lain.

"Ngapain gak boleh, ma?" seorang anak membutuhkan alasan untuk batasan terhadap aktifitasnya. Tetapi doktrin tetap jalan dengan kata penutup, "Titik!" Selalu demikian yang sering terjadi, meskipun kadang sebuah demokrasi berjalan dengan harmonis. Anak hanya bisa memilih antara: "Iya, Ma!" atau "Plak.. plek.. plak.. plek" Satu paragraph (jika ditulis) fakta dan argumen meletup-letup di dalam benak anak. Mungkin sekali telah ada banyak benih Thomas Edison mati dengan cara ini.

Sayang sekali ingatanku tidak cukup baik untuk mengingat bagaimana masa kecilku dulu. Tetapi saat ini sebagian besar waktuku adalah bersama orang-orang yang tidak lebih baik dari anak itu. Mereka sering menyuarakan ,"Ooo, begitu... Iya Pak!, Ooo, begitu... Iya Pak!" Banyak orang begitu santun dan patuh di depan 'bapaknya', tetapi memaki di belakang. Dimanakah seorang bapak yang seharusnya dirindukan oleh anak-anak di rumah, oleh staff di kantoran, oleh bangsa di negeri ini? Sehingga anak buah, anak di rumah, anak bangsa ini mendapatkan ruang untuk sebuah ekspresi mengerami telur ayam di kandang.

No comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More