March 28, 2009

Jagalah Tradisi

Seorang pengusaha alat berat yang sukses mengatakan kepadaku tentang kiat suksesnya: "Jagalah tradisi". Pertemuanku dengannya yang tidak pernah bisa lebih panjang dari waktu yang dibutuhkan untuk menghabiskan sebatang Djarum Black Slimz, mengakibatkan kiat pendek itu belum pernah mendapatkan penjelasan lebih.

Kemarin adalah hari Nyepi, baru kusadari ketika salah satu teman menolakku datang kerumahnya. Namanya Made, dan aku memanggilnya Beli. Tinggal di Sidoarjo tetapi jika ke rumahnya, baru berada di luar pagar rumah serasa sudah berada di Bali.

Bangga dengan tradisi, itulah yang aku nilai terhadap Made dengan kehidupannya. Arsitektur Bali yang mewarnai rumahnya sangat detil sekali. Koleksi musik tradisional yang masih berupa kaset pita juga dimilikinya. Bahasa daerah juga digunakannya untuk sesama Bali.

Berbeda dengan aku yang berdarah asli Mojopahit, Jawa. Dengan jiwaku yang tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan yang Jawa banget, baru kemarin aku menyadari diriku nyaris tak dikenali. Mulai dari bahasa, arsitektur rumah, bahkan aksenku sudah tidak ada Jawanya. Kesadaran ini melahirkan tulisan yang seutuhnya untuk kompetisi blog Djarum Black. Berlanjut dengan mengumpulkan ingatanku kepada teman-teman yang Keturunan Arab, Tionghoa, Sunda, Minang, Aceh, Madura...

Aku tidak akan menunjukkan satu per satu. Terlalu panjang. Dan lagi belum tentu ada yang membacanya, sekalipun oleh juri, he.. he.. Melainkan sekaligus saja borongan bersama mengalirnya ide yang ngglundung semprong ini.

Keturunan Tionghoa dan Arab atau kawasan Timur Tengah yang ada di Negara ini, meski lahir, tumbuh, besar dan sekolah di Jawa, bahasa yang digunakan untuk memanggil hubungan famili dalam keluarga masih kental dengan tradisi nenek moyang mereka. Kenyataan kursus Bahasa Mandarin, Tionghoa dan Arab bisa mudah ditemukan.

Sama halnya dengan Made, meski berada jauh dari tempat tradisi itu lahir, dia bangga menggunakan tradisi mulai dari pemilihan nama untuk anaknya yang akan lahir sampai dengan hiasan dinding ruang tamu.

Berbeda dengan Generasi Jawa, justru sebaliknya, lihatlah bagaimana generasi remajanya yang malu jika di dalam kehidupannya ada berbau tradisi nenek moyang. Jika saja sekarang ini ada remaja yang gemar nonton wayang kulit, tentu akan dianggap aneh oleh teman-temannya. Mungkin hanya pada upacara pernikahan sebagian dari kita (Jawa) masih mau mengikuti tradisi, itupun terjadi lantaran kehendak orang tua. Mempelai hanya monggo kewamon lantaran biaya pernikahan dijamin orang tua. Jika masih tinggal di tanah Jawa saja sudah menepiskan aroma tradisi, bagaimana jika di luar Jawa?

Internet. Kita lihat bangsa yang maju menggunakan bahasa bahkan huruf tradisinya, bagaimana dengan Ho No Co Ro Ko?

Ayolah dulur-dulur jowo, memang saat ini sudah kebablasan jauh kita meninggalkannya. Barang sedikit saja bukanlah sesuatu yang sia-sia jika kita niatkan menjaga tradisi.
Meskipun hanya sebuah kata "nuwun" sebagai salam penutup di badan pesan.

Nuwun

No comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More